UGM Menghadapi Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN: Tantangan, Strategi dan Prospek Kebijakan
Bagi negara-negara Asia Tenggara, menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukan melulu soal perdagangan dan investasi. Di dalam cetak biru Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN tercantum bahwa proses pembangunan Masyarakat ASEAN harus disertakan dengan pembangunan intelektual. Pada titik ini, pendidikan tinggi merupakan salah satu elemen penopang yang penting untuk diperhatikan persiapannya. Sebagai salah satu kampus yang terlibat dalam jaringan pendidikan ASEAN, Universitas Gadjah Mada pun tidak luput dari tanggung jawab untuk memajukan pemuda-pemudi bangsa. Merespon persoalan tersebut, ASEAN Studies Center UGM mengadakan sebuah seminar nasional yang bertajuk “UGM Menghadapi Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN: Tantangan, Strategi, dan Prospek Kebijakan” dengan tujuan mendiskusikan visi UGM dalam menyongsong Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN. Untuk membangun wacana ini, ASEAN Studies Center mengundang tiga narasumber, ialah Elisabeth Heri Budiastuti (Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Prof. Dr. Mohtar Mas’oed (Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM), dan Dr. I Made Andi Arsana (Kepala Kantor Urusan Internasional UGM).
Elisabeth mengawali diskusi dengan menyampaikan persiapan di tingkat ASEAN dan negara dalam menyongsong Masyarakat ASEAN 2015. Ia menuturkan bahwa ASEAN sebagai perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara dibentuk dengan tujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan. Ia pun mengajak kita untuk melihat ASEAN bukan lagi sebagai sebuah organisasi regional, melainkan sebuah himpunan, yakni Masyarakat ASEAN. Terkait dengan tiga pilar Masyarakat ASEAN 2015 yang disetujui pada tahun 2003, terdapat sistem yang mengaitkan satu pilar dengan pilar lainnya dan harus dikerjakan secara holistik guna mencapai masyarakat yang kohesif dan lebih terintegrasi.
Untuk mencapai tujuan yang berpusat pada masyarakat, bertanggung jawab secara sosial, dan menyatukan identitas Masyarakat ASEAN, terdapat beberapa hal yang harus dikerjakan. Hal pertama adalah pendidikan. Sebagai persiapan, ASEAN telah mengeluarkan deklarasi penguatan kerjasama pendidikan yang saling peduli dan berbagi. Di tingkat negara, terdapat forum ASEAN SOM-ED+3 (ASEAN Plus Three Senior Officials Meeting on Education) dan ASED (ASEAN Education Minister Meeting) sebagai wadah bagi menteri pendidikan negara-negara ASEAN untuk salling bertukar informasi dan berdiskusi. Selain itu, di tingkat sekolah dasar dan menengah terdapat ASEAN Curriculum Sourcebook yang dapat menjadi rujukan bagi sistem pengajaran di SD, SLTP, dan SMA.
Tidak luput pula persiapan di tingkat pendidikan tinggi, dimana telah terbentuk ASEAN Credit Transfer System (ACTS) dibawah ASEAN University Network (AUN). Tujuan dari sistem ini adalah untuk meningkatkan mobilitas, mempermudah akses pendidikan, dan memfasilitasi mahasiswa dan akademisi yang ingin melanjutkan pendidikan di universitas negara anggota ASEAN. Sampai pada tahun 2014, telah terhitung sebanyak 134 mahasiswa ASEAN yang telah memanfaatkan sistem pendidikan tinggi ini. Hal lain adalah ASEAN Qualification Reference Network. Elisabeth menyampaikan bahwa sistem standardisasi kualitas akademik ini bersifat tidak memaksa dan dapat digunakan sebagai pedoman perbandingan kualifikasi antar lembaga pendidikan. Tidak kalah penting adalah peluang beasiswa yang memadai dari AUN bagi para calon dan mahasiswa Indonesia. Di samping itu, ia juga membicarakan soal kerjasama kebudayaan, informasi, kepemudaan, dan perlindungan perempuan dan pekerja migran.
Di akhir sesinya, Elisabeth melihat bahwa pada dasarnya ASEAN dirancang untuk memberikan peluang-peluang bagi seluruh elemen dalam pendidikan tinggi agar dapat berpartisipasi secara aktif di tingkat regional. Hanya saja, menurutnya, tantangan itu justru terletak pada titik yang sama, yakni bagaimana Indonesia, terutama UGM dapat memanfaatkan peluang tersebut.
Kemudian, pembicaraan yang tidak kalah penting juga disampaikan oleh I Made Andi Arsana diiringi oleh lelucon hangat di setiap materi. Ia membuka diskusi dengan melihat pada tingginya sentimen bangsa soal perbatasan. Di Uni Eropa, perbatasan sudah semakin kabur dan tidak lagi menjadi persoalan penting untuk dipermasalahkan. Akan tetapi, hal tersebut masih terjadi di negara-negara Asia Tenggara, dan menurutnya, sentimen semacam ini yang harus digerus secara perlahan. Di samping sentimen tersebut, ia melihat adanya prospek yang baik di kalangan remaja Indonesia. Terintegrasinya kaum muda dengan sosial media dapat dimanfaatkan untuk berjejaring secara luas. Meskipun, perlu adanya edukasi dalam penggunaan media sosial untuk diarahkan ke arah yang membangun.
Di samping berbicara soal perbatasan dan kedaulatan, ia menitikberatkan perbincangan pada persiapan UGM sebagai salah satu universitas ternama di Indonesia. Menurut Andi, UGM telah mempersiapkan diri lewat dua cara, yakni persiapan internal dan integrasi eksternal. Pada persiapan internal, UGM telah melabelkan diri sebagai universitas yang komprehensif dari segi keilmuan, dari yang konseptual hingga kontekstual, dan teoritik hingga praktik. Di sisi yang lain, UGM juga telah melibatkan diri dalam jaringan AUN tidak hanya sebagai anggota, melainkan sebagai pendiri sistem pendidikan regional tersebut. Dua aspek ini sudah menggambarkan usaha bagaimana UGM ingin maju dan berkontribusi dalam pemajuan Masyarakat ASEAN di bidang intelektual.
Setelah berbincang dalam ranah kontekstual, Prof. Mohtar masuk pada ranah yang sangat konseptual. Ia memulai wacana dengan mengungkap paradoks Masyarakat ASEAN dalam bidang pendidikan tinggi, yakni turut serta dalam standardisasi pendidikan dan juga menjadi Asia Tenggara. Dengan kata lain, dua tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh masing-masing negara anggota ASEAN adalah liberalisasi pendidikan dan regionalisasi identitas. Secara eksplisit, liberalisasi pendidikan meminta kita untuk berkompetisi, sedangkan regionalisasi identitas meminta kita untuk membangun solidaritas. Paradoks ini yang menurut Prof. Mohtar adalah aspek yang perlu dikaji.
Saat ini, segala hal dapat dikomodifikasi, salah satunya pendidikan. Ia bercerita bahwa pelajaran agama pun sudah harus berbayar. Pada titik ini, agama sebagai pondasi keimanan individu berhasil dikomodifikasi. Secara teoretik, terdapat beberapa model liberalisasi pendidikan, yakni cross-border supply, consumption abroad, commercial presence, dan presence of natural persons. Model pertama dapat dimanifestasikan dalam bentuk sistem belajar e-learning yang tidak menuntut adanya perpindahan fisik. Model kedua adalah berangkatnya konsumen pendidikan ke negara penyedia. Model ketiga adalah pihak penyedia pendidikan yang datang ke negara konsumen. Model keempat adalah mendatangkan profesional dari negara penyedia untuk bekerja di negara penerima. Dari keempat model ini, negara-negara anggota ASEAN telah menerapkannya. Kerugian yang akan diperoleh dari skema ini adalah adanya prioritas pendidikan untuk menjadi suatu wadah tempat berkembangnya para profesional, bukan para pemikir kritis. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi forum untuk belajar, berdebat, meneliti, saling bertukar pikiran, dan mengabdi kepada masyarakat.
Kemudian, di samping liberalisasi pendidikan, Prof Mohtar pun menggarisbawahi tantangan regionalisasi. Pada dasarnya, integrasi yang dibangun di kawasan Asia Tenggara sangat kental dengan dimensi moral. Berbeda dengan Uni Eropa yang terintegrasi karena kepentingan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN cenderung mempertimbangkan kerjasama regional sebagai bentuk pamrih pribadi. Akan tetapi, implikasi dari integrasi ini merasuk hingga berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini yang menjadi tidak seimbang ketika diletakkan dalam satu kerangka yang sama, seperti liberalisasi pendidikan dan regionalisasi identitas yang notabene sebagai implikasi dari kerjasama, namun harus dijalankan oleh negara sebagai bentuk kepedulian terhadap pembangunan kemanusiaan. Mengutip Kupchan (1997), a region is conceived of, then it comes to exist, dan begitu pula ASEAN yang eksistensinya terletak di tangan masyarakatnya.
Berdasar pada materi yang telah disampaikan ketiga pembicara, ASEAN Studies Center UGM melihat bahwa pembangunan Masyarakat ASEAN yang berbasis intelektual memiliki tantangan besar. Adanya transformasi pemanfaatan pendidikan sebagai ajang kompetisi mengaburkan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri, yakni memanusiakan manusia dengan wawasan dan pengetahuan yang luas. Justru, dengan adanya komodifikasi pendidikan, hal ini menunjukkan adanya degradasi dari institusi pendidikan sebagai ruang bagi para pemikir kritis. Namun, di satu sisi, untuk meniadakan liberalisasi pendidikan pun dapat berimplikasi pada pembangunan solidaritas pendidikan tinggi. Dengan tidak adanya standardisasi di tingkat regional, ruang kerjasama antar pendidikan tinggi pun menjadi sempit sehingga aktor-aktor yang berada di dalamnya tidak mampu untuk berinteraksi secara harmonis. Pada akhirnya, UGM sebagai salah satu unsur penting dalam pilar Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN perlu untuk mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi persoalan dilematis bagi dunia pendidikan. (DD)