UGM Menghadapi Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN: Tantangan, Strategi dan Prospek Kebijakan

Slider - Semnasjpg

Bagi negara-negara Asia Tenggara, menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukan melulu soal perdagangan dan investasi. Di dalam cetak biru Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN tercantum bahwa proses pembangunan Masyarakat ASEAN harus disertakan dengan pembangunan intelektual. Pada titik ini, pendidikan tinggi merupakan salah satu elemen penopang yang penting untuk diperhatikan persiapannya. Sebagai salah satu kampus yang terlibat dalam jaringan pendidikan ASEAN, Universitas Gadjah Mada pun tidak luput dari tanggung jawab untuk memajukan pemuda-pemudi bangsa. Merespon persoalan tersebut, ASEAN Studies Center UGM mengadakan sebuah seminar nasional yang bertajuk “UGM Menghadapi Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN: Tantangan, Strategi, dan Prospek Kebijakan” dengan tujuan mendiskusikan visi UGM dalam menyongsong Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN. Untuk membangun wacana ini, ASEAN Studies Center mengundang tiga narasumber, ialah Elisabeth Heri Budiastuti (Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), Prof. Dr. Mohtar Mas’oed (Guru Besar Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM), dan Dr. I Made Andi Arsana (Kepala Kantor Urusan Internasional UGM).

Elisabeth mengawali diskusi dengan menyampaikan persiapan di tingkat ASEAN dan negara dalam menyongsong Masyarakat ASEAN 2015. Ia menuturkan bahwa ASEAN sebagai perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara dibentuk dengan tujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan. Ia pun mengajak kita untuk melihat ASEAN bukan lagi sebagai sebuah organisasi regional, melainkan sebuah himpunan, yakni Masyarakat ASEAN. Terkait dengan tiga pilar Masyarakat ASEAN 2015 yang disetujui pada tahun 2003, terdapat sistem yang mengaitkan satu pilar dengan pilar lainnya dan harus dikerjakan secara holistik guna mencapai masyarakat yang kohesif dan lebih terintegrasi.

Untuk mencapai tujuan yang berpusat pada masyarakat, bertanggung jawab secara sosial, dan menyatukan identitas Masyarakat ASEAN, terdapat beberapa hal yang harus dikerjakan. Hal pertama adalah pendidikan. Sebagai persiapan, ASEAN telah mengeluarkan deklarasi penguatan kerjasama pendidikan yang saling peduli dan berbagi. Di tingkat negara, terdapat forum ASEAN SOM-ED+3 (ASEAN Plus Three Senior Officials Meeting on Education) dan ASED (ASEAN Education Minister Meeting) sebagai wadah bagi menteri pendidikan negara-negara ASEAN untuk salling bertukar informasi dan berdiskusi. Selain itu, di tingkat sekolah dasar dan menengah terdapat ASEAN Curriculum Sourcebook yang dapat menjadi rujukan bagi sistem pengajaran di SD, SLTP, dan SMA.

Tidak luput pula persiapan di tingkat pendidikan tinggi, dimana telah terbentuk ASEAN Credit Transfer System (ACTS) dibawah ASEAN University Network (AUN). Tujuan dari sistem ini adalah untuk meningkatkan mobilitas, mempermudah akses pendidikan, dan memfasilitasi mahasiswa dan akademisi yang ingin melanjutkan pendidikan di universitas negara anggota ASEAN. Sampai pada tahun 2014, telah terhitung sebanyak 134 mahasiswa ASEAN yang telah memanfaatkan sistem pendidikan tinggi ini. Hal lain adalah ASEAN Qualification Reference Network. Elisabeth menyampaikan bahwa sistem standardisasi kualitas akademik ini bersifat tidak memaksa dan dapat digunakan sebagai pedoman perbandingan kualifikasi antar lembaga pendidikan. Tidak kalah penting adalah peluang beasiswa yang memadai dari AUN bagi para calon dan mahasiswa Indonesia. Di samping itu, ia juga membicarakan soal kerjasama kebudayaan, informasi, kepemudaan, dan perlindungan perempuan dan pekerja migran.

Di akhir sesinya, Elisabeth melihat bahwa pada dasarnya ASEAN dirancang untuk memberikan peluang-peluang bagi seluruh elemen dalam pendidikan tinggi agar dapat berpartisipasi secara aktif di tingkat regional. Hanya saja, menurutnya, tantangan itu justru terletak pada titik yang sama, yakni bagaimana Indonesia, terutama UGM dapat memanfaatkan peluang tersebut.

Kemudian, pembicaraan yang tidak kalah penting juga disampaikan oleh I Made Andi Arsana diiringi oleh lelucon hangat di setiap materi. Ia membuka diskusi dengan melihat pada tingginya sentimen bangsa soal perbatasan. Di Uni Eropa, perbatasan sudah semakin kabur dan tidak lagi menjadi persoalan penting untuk dipermasalahkan. Akan tetapi, hal tersebut masih terjadi di negara-negara Asia Tenggara, dan menurutnya, sentimen semacam ini yang harus digerus secara perlahan. Di samping sentimen tersebut, ia melihat adanya prospek yang baik di kalangan remaja Indonesia. Terintegrasinya kaum muda dengan sosial media dapat dimanfaatkan untuk berjejaring secara luas. Meskipun, perlu adanya edukasi dalam penggunaan media sosial untuk diarahkan ke arah yang membangun.

Di samping berbicara soal perbatasan dan kedaulatan, ia menitikberatkan perbincangan pada persiapan UGM sebagai salah satu universitas ternama di Indonesia. Menurut Andi, UGM telah mempersiapkan diri lewat dua cara, yakni persiapan internal dan integrasi eksternal. Pada persiapan internal, UGM telah melabelkan diri sebagai universitas yang komprehensif dari segi keilmuan, dari yang konseptual hingga kontekstual, dan teoritik hingga praktik. Di sisi yang lain, UGM juga telah melibatkan diri dalam jaringan AUN tidak hanya sebagai anggota, melainkan sebagai pendiri sistem pendidikan regional tersebut. Dua aspek ini sudah menggambarkan usaha bagaimana UGM ingin maju dan berkontribusi dalam pemajuan Masyarakat ASEAN di bidang intelektual.

Setelah berbincang dalam ranah kontekstual, Prof. Mohtar masuk pada ranah yang sangat konseptual. Ia memulai wacana dengan mengungkap paradoks Masyarakat ASEAN dalam bidang pendidikan tinggi, yakni turut serta dalam standardisasi pendidikan dan juga menjadi Asia Tenggara. Dengan kata lain, dua tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh masing-masing negara anggota ASEAN adalah liberalisasi pendidikan dan regionalisasi identitas. Secara eksplisit, liberalisasi pendidikan meminta kita untuk berkompetisi, sedangkan regionalisasi identitas meminta kita untuk membangun solidaritas. Paradoks ini yang menurut Prof. Mohtar adalah aspek yang perlu dikaji.

Saat ini, segala hal dapat dikomodifikasi, salah satunya pendidikan. Ia bercerita bahwa pelajaran agama pun sudah harus berbayar. Pada titik ini, agama sebagai pondasi keimanan individu berhasil dikomodifikasi. Secara teoretik, terdapat beberapa model liberalisasi pendidikan, yakni cross-border supply, consumption abroad, commercial presence, dan presence of natural persons. Model pertama dapat dimanifestasikan dalam bentuk sistem belajar e-learning yang tidak menuntut adanya perpindahan fisik. Model kedua adalah berangkatnya konsumen pendidikan ke negara penyedia. Model ketiga adalah pihak penyedia pendidikan yang datang ke negara konsumen. Model keempat adalah mendatangkan profesional dari negara penyedia untuk bekerja di negara penerima. Dari keempat model ini, negara-negara anggota ASEAN telah menerapkannya. Kerugian yang akan diperoleh dari skema ini adalah adanya prioritas pendidikan untuk menjadi suatu wadah tempat berkembangnya para profesional, bukan para pemikir kritis. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi forum untuk belajar, berdebat, meneliti, saling bertukar pikiran, dan mengabdi kepada masyarakat.

Kemudian, di samping liberalisasi pendidikan, Prof Mohtar pun menggarisbawahi tantangan regionalisasi. Pada dasarnya, integrasi yang dibangun di kawasan Asia Tenggara sangat kental dengan dimensi moral. Berbeda dengan Uni Eropa yang terintegrasi karena kepentingan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN cenderung mempertimbangkan kerjasama regional sebagai bentuk pamrih pribadi. Akan tetapi, implikasi dari integrasi ini merasuk hingga berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini yang menjadi tidak seimbang ketika diletakkan dalam satu kerangka yang sama, seperti liberalisasi pendidikan dan regionalisasi identitas yang notabene sebagai implikasi dari kerjasama, namun harus dijalankan oleh negara sebagai bentuk kepedulian terhadap pembangunan kemanusiaan. Mengutip Kupchan (1997), a region is conceived of, then it comes to exist, dan begitu pula ASEAN yang eksistensinya terletak di tangan masyarakatnya.

Berdasar pada materi yang telah disampaikan ketiga pembicara, ASEAN Studies Center UGM melihat bahwa pembangunan Masyarakat ASEAN yang berbasis intelektual memiliki tantangan besar. Adanya transformasi pemanfaatan pendidikan sebagai ajang kompetisi mengaburkan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri, yakni memanusiakan manusia dengan wawasan dan pengetahuan yang luas. Justru, dengan adanya komodifikasi pendidikan, hal ini menunjukkan adanya degradasi dari institusi pendidikan sebagai ruang bagi para pemikir kritis. Namun, di satu sisi, untuk meniadakan liberalisasi pendidikan pun dapat berimplikasi pada pembangunan solidaritas pendidikan tinggi. Dengan tidak adanya standardisasi di tingkat regional, ruang kerjasama antar pendidikan tinggi pun menjadi sempit sehingga aktor-aktor yang berada di dalamnya tidak mampu untuk berinteraksi secara harmonis. Pada akhirnya, UGM sebagai salah satu unsur penting dalam pilar Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN perlu untuk mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi persoalan dilematis bagi dunia pendidikan. (DD)

Seminar dan Bedah Buku: UKM dalam Pusaran Masyarakat Ekonomi ASEAN

Poster Bedah Buku

Seminar Nasional: UGM Menghadapi Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN: Tantangan, Strategi, dan Prospek Kebijakan

Poster Talkshow

Seminar ini bertujuan untuk menelaah, secara lebih mendalam, hubungan antara mobilitas kawasan yang terbentuk dalam kerangka Masyarakat ASEAN dengan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam desain Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN (ASEAN Social and Cultural Community), pendidikan tinggi menjadi salah satu agenda penting. Blueprint Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN telah menyatakan bahwa ASEAN akan membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang bertumpu pada integrasi prioritas pendidikan dalam agenda pembangunan ASEAN serta meningkatkan kepedulian terhadap ASEAN melalui pendidikan.

Konsekuensinya, sektor pendidikan menjadi salah satu isu penting untuk menghadapiregionalisasi kawasan dan mobilitas manusia tersebut. Sebagaimana Blueprint Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN yang menyatakan bahwa ASEAN akan membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society) yang bertumpu pada integrasi prioritas pendidikan. Untuk itu, pendidikan itu tidak hanya dimaknai sebagai business as usual melainkan sebagai hub untuk melaksanakan integrasi kawasan. Hal ini terkait dengan pembangunan sumber daya manusia dan orientasi pendidikan sebuah negara (perguruan tinggi) dalam menghadapi berbagai konsekuensi dari perkembangan isu-isu regionalisasi kawasan dan mobilitas manusia tersebut. Setidaknya, melalui sektor pendidikan, kecakapan dan kompetensi yang didorong melalui sektor pendidian akan menjadi jalan keluar dari beberapa konsekuensi-konsekensi tersebut.

Namun demikian, sejauh ini konsekuensi regionalisasi kawasan dan mobilitas manusia yang semakin terintegrasi terhadap sektor pendidikan masih menjadi tanda tanya besar Mengingat kita telah berada di era Komunitas ASEAN tahun 2015, hal ini menjadi penting untuk diangkat dalam sebuah kajian yang lebih serius. Untuk keperluan itu, ASEAN Studies Center UGM akan menggelar Seminar bertajuk “UGM Menghadapi Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN: Tantangan, Strategi, dan Prospek Kebijakan”

Ulasan: Meninjau Keuniversalan Gerakan Sosial di ASEAN

Feature - Talkshow News

Menurut Herbert Blumer (1969), gerakan sosial dapat dilihat sebagai kepentingan kolektif untuk membangun sebuah tatanan hidup yang baru. Di lain sisi, gerakan social berarti suatu kolektifitas yang mengadakan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi di dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu (Turner, Killan, 1972). Pada dasarnya, gerakan sosial adalah cara alternatif untuk menyuarakan persoalan-persoalan di level domestik, dengan tujuan dan maksud tertentu tergantung pada pencetusnya. Persoalan sosial di masyarakat kadang kala dikesampingkan oleh elit. Dengan begitu, gerakan sosial bangkit dari level bawah untuk melakukan dekonstruksi pada struktur elit-massa, dan keluar sebagai solusi terhadap permasalahan sosial yang ada.

Perbincangan mengenai gerakan sosial kerap terhubung dengan cita-cita para Negara anggota ASEAN yang dalam waktu yang singkat ini akan mengimplementasikan Komunitas ASEAN 2015 sebagai babak baru kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Implikasi dari integrasi regional ini paling tidak akan memunculkan permasalahan-permasalahan sosial baru, seperti kesenjangan sosial, perbedaan identitas, dan penegakan hak asasi manusia. Berbicara melalui pendekatan yang berbeda, ASEAN sering kali dilihat sebagai rezim berbasis elit dan hanya merujuk pada nilai-nilai universal sebagai pendorong kebijakan. Padahal, cita-cita dari negara ASEAN adalah sebuah proses regionalisme yang tidak mengesampingkan masyarakat sebagai elemen utama dalam proses integrasi. Merespon permasalahan semacam ini, banyak sekali gerakan sosial yang bermunculan untuk melancarkan protes dan melawan elit dari segi perumusan dan implementasi kebijakan domestik—meskipun dengan cara pandang dan nilai yang berbeda-beda.

Berangkat dari permasalahan tersebut, ASEAN Studies Center, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Project Child Indonesia dan Social Movement Institute berhasil menyelenggarakan sebuah talkshow bertajuk “Meninjau Keuniversalan Gerakan Sosial di ASEAN” pada tanggal 29 Oktober 2015 bertempat di Selasar Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Empat narasumber yang membahas isu ini dengan sangat komprehensif dari berbagai sudut pandang, ialah AB. Widyanta, S. Sos., M.A. (dosen Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada), Eko Prasetyo, S.H. (Ketua Badan Pekerja Social Movement Institute), Ardhana Pragota (Perwakilan ASEAN Youth Forum), dan Surayah Ryha, S.Si., M.Sc. (Co-founder Project Child Indonesia).

Berbicara soal gerakan sosial di ASEAN, masing-masing dari pembicara memberikan pandangan yang spesifik. Eko Prasetyo berpendapat bahwa ASEAN cenderung disambut dengan kebahagiaan dan kesenangan. Padahal, kita masih memiliki permasalahan politik dan sosial yang pelik di negara-negara ASEAN. Pada tahun 1970-an, sebuah buku catatan bawah tanah yang ditulis oleh seorang aktivis Burma bercerita soal diktator di Burma yang mengisahkan bagaimana mahasiswa harus berurusan dengan diktator, dan membangun gerakan berorientasi ideologi kiri. Di Malaysia dan Singapura, tidak ada kebebasan untuk berpolitik. SMI sering melakukan kunjungan ke Malaysia untuk mengajarkan mahasiswa Malaysia bagaimana berdemonstrasi yang benar – secara diam-diam. Pada titik ini, perlu untuk membangun jaringan gerakan sosial melalui kunjungan ke negara-negara ASEAN.

Kemudian, sambutan kebahagiaan atas terbentuknya ASEAN kerap dekat dengan komersialisasi. Hal ini yang digarisbawahi oleh Eko bahwa komersialisasi dapat mengonsumsi ruang publik. Ruang interaksi untuk menebar nilai-nilai kemanusiaan digerogoti secara perlahan oleh korporasi, konsumerisme, individualisme, dan kapitalisme. Namun, di satu sisi, mari sambut ASEAN dengan memanfaatkan peluang di mana ruang publik dapat diperluas. Mahasiswa harus bisa menjadi jembatan yang memperkuat interaksi masyarakat di level bawah. ASEAN adalah ruang publik yang harus dioptimalkan.

Dengan suara lantang, AB Widyanta cenderung meletakkan pandangan skeptis terhadap ASEAN. Ia bertanya, “Apakah kita benar-benar ASEAN?”. Hal ini terkait dengan kecurigaannya bahwa ASEAN adalah naming dari antropologi kolonial. Kondisi ini, menurut dirinya, harus dibenahi agar kapitalisme yang menjadi arus besar dalam pembentukan ASEAN tidak merambat hingga aspek politik. Secara sosiologis, ia berusaha membangun pandangan bahwa ASEAN lagi-lagi tidak boleh diterima begitu saja sebagai kemenangan atau kebahagiaan di Asia Tenggara. Permasalahan yang pelik justru datang dari kebahagiaan tersebut.

Fakta menunjukkan bahwa gerakan sosial yang ada di negara-negara ASEAN cenderung partikular dan harus ditelisik noddle point-nya. Hal ini menjadi agenda besar bagi gerakan-gerakan sosial untuk menjembatani diri satu sama lain. Sederhananya, menggabungkan yang partikular ke dalam seruan bersama. Fragmentasi adalah hal yang harus segera dicari jalan keluarnya. Memang, belum terdapat contoh yang dapat menggambarkan pemikiran abstrak ini. Menurutnya, tahapan universalisme gerakan sosial di ASEAN berada dalam on-going process. Semua akan sangat tergantung pada agen-agen gerakan sosial.

Ardhana Pragota, datang dengan segi keilmuan yang popular, melihat kaum muda sebagai agen yang bekerja untuk mengejar agenda-agenda tersebut. Pada intinya, kaum muda harus mampu mentransformasi ASEAN agar sesuai dengan masa depan mereka berdasarkan konteks sosio-historis, ekonomi, politik, dan budaya. Menurutnya, ilusi Masyarakat Ekonomi ASEAN telah menginfiltrasi pemikiran anak muda bahwasanya kehidupan yang tepat adalah individualis, kompetitif, dan apatis terhadap lingkungan sosial.

Berada dalam wadah ASEAN Youth Forum, Pragota melihat bahwa konektivitas kaum muda di level ASEAN masih rendah. Pertama, tidak seluruh partisipan dalam ASEAN Youth Forum adalah perwakilan yang aktif untuk mengejar kepentingan negara mereka. Bahkan, untuk isu Mary Jane, perwakilan Filipina tidak berbuat apa-apa alih-alih perwakilan Indonesia, ia klaim, berhasil menuntaskan kasus tersebut.

Berbeda dari ketiga pembicara di atas, Surayah Ryha melihat bahwa gerakan sosial di ASEAN dapat dipersatukan dengan memanfaatkan teknologi di era globalisasi. Terkadang, pola individualisme di akun pengguna media sosial dapat kita manfaatkan untuk kepentingan bersama. Contoh, ketika isu anak-anak cenderung dikesampingkan, Project Child Indonesia memanfaatkan media sosial untuk membangun tren dan menekankan bahwa penghidupan anak adalah elemen yang cukup penting untuk diperhatikan. Pada titik ini, individualisme yang merajalela dapat kita satukan dengan merujuk pada sebuah tren. Ini yang dinamakan sebagai era globalisasi – bagaimana sebuah isu dapat diperluas dengan cara yang mudah dan instan. Ryha berpikir bahwa cara ini dapat dimanfaatkan untuk memperluas gerakan-gerakan sosial, tentunya yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan, dan non-radikal. Ia juga percaya bahwa kapitalisme yang dibangun dalam kerangka ASEAN dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dengan melibatkan komunitas lokal. Pada intinya, tidak ada yang salah dengan kapitalisme – kecuali ia disalurkan kepada orang yang salah.

Melalui berbagai diskusi yang komprehensif ini, ASEAN Studies Center berkesimpulan bahwa keuniversalan gerakan sosial di ASEAN adalah sebuah proses yang hanya akan tercapai jika dikerjakan oleh agen-agen sosial. Meskipun banyak sekali gap dan partikularitas di antara gerakan-gerakan sosial yang ada, perlu usaha untuk saling menjembatani, mencari titik persamaan (merujuk pada situasi politik, ekonomi, dll), dan meminimalisir noddle point-nya.

Talkshow: Meninjau Keuniversalan Gerakan Sosial di ASEAN

Feature - Talkshow

Perbincangan mengenai gerakan sosial kerap terhubung dengan cita-cita para negara anggota ASEAN yang dalam waktu yang singkat ini akan mengimplementasikan Komunitas ASEAN 2015 sebagai babak baru kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Implikasi dari integrasi regional ini paling tidak akan memunculkan permasalahan-permasalahan sosial baru, seperti kesenjangan sosial, perbedaan identitas, dan penegakan hak asasi manusia. Berbicara melalui pendekatan yang berbeda, ASEAN sering kali dilihat sebagai rezim berbasis elit dan hanya merujuk pada nilai-nilai universal sebagai pendorong kebijakan. Padahal, cita-cita dari negara ASEAN adalah sebuah proses regionalisme yang tidak mengesampingkan masyarakat sebagai elemen utama dalam proses integrasi. Merespon permasalahan semacam ini, banyak sekali gerakan sosial yang bermunculan untuk melancarkan protes dan melawan elit dari segi perumusan dan implementasi kebijakan domestik—meskipun dengan cara pandang dan nilai yang berbeda-beda.

Berangkat dari permasalahan tersebut, ASEAN Studies Center, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Project Child Indonesia dan Social Movement Institute menyelenggarakan sebuah talkshow bertajuk “Meninjau Integrasi Gerakan Sosial di ASEAN”. Tujuan utama dari penyelenggaraan acara ini adalah untuk membuka dialog dan narasi mengenai perkembangan gerakan sosial dari segi teori dan praktik, implementasinya di negara ASEAN, dan menelisik kemungkinan integrasi dari gerakan-gerakan sosial di ASEAN yang notabene berbeda pada aspek fundamental dan metode. Dengan mendatangkan beberapa narasumber yang relevan, diharapkan acara ini dapat berkontribusi dalam narasi dan dialog untuk mengembangkan gerakan sosial yang efektif dan mumpuni.

Report from Workshop: Championing Your Business in ASEAN Community 2015

Event - Workshop UKM
ASEAN Studies Center UGM held a two-day workshop on the marketing strategy of SMEs in the ASEAN Economic Community, titled “Championing Your Business in ASEAN Community”. The marketing strategy is the main topic due to the assessment and research of ASEAN Studies Center UGM in 2014 regarding the readiness of SMEs in facing the ASEAN regional markets, marketing became one of the items that need to be prepared in facing ASEAN Economic Community. As a vital consequence of the free market at the regional level, Indonesia will inevitably to be directly involved in trading activities. Problems arise when each country will be connected to each other with the different business conditions in accordance with their respective domestic markets. Great expectations in the conduct of this workshop is to array SMEs in Indonesia, especially Yogyakarta to be better prepared to interactThis workshop invited several SMEs and relevant stakeholders in Yogyakarta. High enthusiasm comes from the business since some of them have just heard of adequate information about the AEC. The information comes from the speakers who were invited by ASEAN Studies Center UGM, namely Dr. Poppy S. Winanti (lecturer of International Relations UGM and Director of the Center for World Trade Studies), Endo Anugrah (Head of Partners Section for European and African, Sub ASEAN Dialogue Partners II, Ministry of Trade of Indonesia), Widya Paramita, M.Sc. (lecturer of Faculty of Economics and Business UGM), Timbul Raharjo (Entrepreneur and Chairman ASMINDO DIY), Dina W. Kariodimedjo (Faculty of Law Lecturer and Researcher at PSPD UGM), Ferdi Febianno Aggriawan, S. IP (Digital Manager Group M), Andin Rahmana (Digital Marketing Swaragama Group), and Arief Budiman (Eureka Group)

Material collaboration delivered by the speakers was preferred by SMEs in Yogyakarta since able to provide the things theoretically and practically. Departing from the understanding of what the ASEAN Community and the AEC in 2015 are, the workshop participants acknowledged that they just heard of these agendas, and assessing their business as far from the preparation in facing the AEC. However, several SMEs have prepared themselves by creating profiles on social media, and even integrate its business with the search features in Google and Google+. Through this workshop, ASEAN Studies Center UGM succeeded in forming a group using one of the chat application platform with the aim of integrating SMEs, in which they can exchange opinions and share information.

Head of the ASEAN Studies Center, Drs. Dafri Agussalim, M.A. said that the workshop can be used as a working platform or alternative strategies in preparing domestic elements were deemed less if it is associated with the process towards the ASEAN Economic Community. He underlined that the spirit of the business comes from the motivation and knowledge exchange among scientific experts, marketing, and business people. Reconciling these actors will certainly produce positive collaboration.

The workshop ended with a group photo of the invited SMEs, the organizers from the ASEAN Studies Center UGM, and the speaker in the last session, Arief Budiman of Eureka Group.

Workshop: Championing Your Business in ASEAN Community

Event - Workshop UKM

 

Seminar: Peran dan Tantangan G20 bagi Perekonomian Indonesia di Era Pemerintahan Baru

11210212_1047288335298476_1160077963_n

Seminar: Peran dan Tantangan G20 bagi Perekonomian Indonesia di Era Pemerintahan Baru

  • Tempat: Hotel royal Ambarrukmo, Yogyakarta
  • Waktu: Kamis, 7 Mei 2015, 09.00 – 12.00

Pembicara:

  1. Toferry P. Soetikno – Direktur PELH, Kementerian Luar Negeri RI
  2. Syurkani Ishak Kasim  – Kepala  PKPPIM, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI
  3. Akhmad Akbar Susamto, PhD – Dosen Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM
  4. Gabriel Lele, Ph.D  – Peneliti ASEAN Studies Center UGM

Registrasi:

EMAIL <SUBJECT: G20> dengan menyertakan Nama, Institusi dan Nomor Telepon ke Email aseansc@ugm.ac.id sebelum 23.45 WIB 5 Mei 2015.

Seminar: Capaian dan Prospek Indonesia dalam Komunitas ASEAN 2015

 

 

Seminar – Championing ASEAN Community 2015: Inside Indonesia

10848732_868425473191551_7412830082498006365_o

Seminar “Championing ASEAN Community 2015: Inside Indonesia” will be held on Thursday, December 11th 2014 at Ruang Seminar MAP UGM, Fisipol UGM Unit II SEKIP, Jalan Prof. Dr. Sardjito, Yogyakarta. The conference will be started at 08.30 AM.

Keynote Speaker: Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M. Sc., Ph. D. (Rector of Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Registration at ASEAN Studies Center UGM Office, Faculty of Social and Political Sciences Universitas Gadjah Mada, 5th Floor. Contact person and further information please SMS/Call April (+62 899 4642 170)