Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Tantangan Reformasi Birokrasi

Feature - Yoga

Muhammad Prayoga Permana, MPP
Kepala ASEAN Studies Center Universitas Gadjah Mada

Masyarakat Ekonomi ASEAN (selanjutnya disingkat EA) akan segera diluncurkan akhir tahun 2015 ini. Disadari atau tidak, MEA akan sangat terkait dengan kompetisi yang makin tajam di kawasan Asia Tenggara. Kendati idealnya MEA dirancang untuk memberikan manfaat bagi semua negara anggota ASEAN, Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan memaparkan bahwa MEA merupakan persaingan antar negara.

Dalam hal ini, negara dan segenap aparatur birokrasi di dalamnya akan menjadi katalisator. Mereka akan menentukan nasib setelah MEA efektif diberlakukan per 31 Desember 2015.

Pertanyaan yang perlu diajukan, apakah Indonesia akan menjadi pemenang bersama dengan kesepuluh anggota ASEAN lainnya ataukah justru Indonesia hanya akan menjadi pasar? Berbagai pendekatan telah dilakukan dalam mengukur kesiapan masyarakat menjelang MEA. Namun, ironisnya, belum ada yang berhasil menggambarkan secara komprehensif kesiapan pemerintah sendiri.

Dalam menghadapi MEA, cara bekerja birokrasi harus berubah. Catatan ASEAN Community Progress Monitoring System (ACPMS) 2012 memaparkan proporsi ekspor Indonesia dalam produk berteknologi tinggi berada jauh di bawah rata-rata ASEAN. Artinya, kapabilitas pengembangan teknologi Indonesia masih cukup rendah dan hanya mengandalkan ekspor bahan mentah. Selain itu, ongkos ekspor Indonesia menduduki posisi ke-3 termahal di ASEAN dan untuk impor justru termurah ke-3 di ASEAN. Tanpa intervensi yang tepat dari pemerintah, MEA hanya akan menguntungkan importir untuk pasar domestik dan eksportir komoditas tanpa nilai tambah.

Memenangkan Peluang

Memenangkan peluang MEA membutuhkan adaptasi dan ketangkasan (operational agility). Ketangkasan yang dimaksud adalah bagaimana merespon perubahan lansekap ekonomi maupun ketidakpastian dengan pergerakan cepat (Kasali, 2013). Berbeda dengan sebelumnya, birokrasi publik di era baru MEA dihadapkan pada situasi yang bersifat VOCA (Volatility (bergejolak), Uncertainty (memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi), Complexity (saling berhubungan, saling tergantung dan rumit) dan Ambiguity (menimbulkan keragu-raguan). Oleh karena itu capaian kinerja birokrasi tidak lagi harus bersifat rule based namun harus bergerak maju ke arah yang lebih dinamis.

Situasi dalam VOCA membutuhkan setidaknya pendekatan berpikir ke depan (thinking ahead) yakni kapabilitas untuk mengidentifikasi perkembangan, memahami implikasi perubahan sosial ekonomi dan menentukan investasi kebijakan strategis maupun menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi masyarakat untuk memanfaatkan peluang dan meminimalisasi ancaman (Neo & Chen, 2007).

Secara fundamental, arah pengembangan birokrasi pasca-2015 perlu untuk memahami dinamika relasi antara birokrasi dan pasar misalnya. Paradigma lama yang menekankan pada minimalisasi peran birokrasi untuk merespon globalisasi telah usang. Shin (2005) menjelaskan fenomena integrasi ekonomi, seperti MEA, memiliki 2 dimensi utama yakni mobile factors dan non-mobile factors.

Dimensi pertama terfokus pada pilar investasi. Kemudahan teknologi dan integrasi perbankan membuat modal dengan cepat berpindah. Sementara itu, pada dimensi kedua, kualitas non-mobile factors seperti respon sektor publik terhadap tantangan perbaikan pelayanan, percepatan infrastruktur dan harmonisasi regulasi menjadi hal krusial yang menentukan kemana mobile factors tadi berpindah.

Dalam kasus ini, Indonesia merupakan negara dengan proses pengurusan investasi terburuk di ASEAN. Indonesia juga tercatat sangat restriktif dalam memfasilitasi mobilitas investor dalam wilayah domestiknya (Soesastro & Atje dalam Basu Das, 2012). Kondisi ini, disadari atau tidak, kan menurunkan daya tarik Indonesia dalam sektor investasi.

Competitive and Representative Government

Bagaimana menyikapi beberapa tantangan  tersebut? Selama ini, reformasi birokrasi cenderung hanya dipahami dalam tataran teknis. Meskipun penting, kitat patut mempersoalkan bagaimana arah dan cara kerja reformasi birokrasi yang berjalan selama ini terkait dengan tantangan eksternal yang muncul. Artinya, dalam menghadapi MEA, perlu adanya pembenahan paradigma aparatur birokrasi agar mampu bersiap menghadapi dan merespons transformasi ekonomi kawasan.

Pembenahan paradigma tersebut dapat dilakukan dengan memperkenalkan cara pandang competitive and representative government sebagai bagian dari Reformasi Birokrasi di Indonesia. Cara pandang tersebut menghadirkan kembali negara pada pemerintahan yang kompetitif, namun tetap memiliki kapasitas untuik merepresentasi kepentingan publik. Pemerintahan yang kompetitif berarti pemerintaan yang mampu beradaptasi dengan konstelasi global maupun regiona. Sementara itu, pemerintahan yang representatif berarti pemerintahan yang yang konsisten mengutamakan kepentingan masyarakat dan mendorong partisipasi publik di dalam penyelenggaraan pemerintahan (lihat Hameiri, 2010).

Tantangan bagi birokrasi Indonesia, dalam konteks ini, tidak hanya bekerja untuk merespon tuntutan regionalisasi ekonomi ASEAN. Pada dasarnya, birokrasi juga dituntut untuk hadir meminimalisasi ekses pasar. Dengan kata lain, birokrasi perlu menyeimbangkan antara tuntutan scorecard liberalisasi di tingkat regional dengan implementasi paket-paket kebijakan untuk mencegah eksternalitas pasar.

Berkaca pada pendekatan yang dianut pemerintah saat ini, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap kecenderungan pendekatan mekanis yang berujung pada birokratisasi reformasi birokrasi perlu. Reformasi birokrasi harus mampu lepas dari kekangan tumpukan dokumen bukti kinerja. Lebih dari itu, birokrasi perlu baham betul apa sebenarnya titik peluang, tantangan dan kerawanan MEA bagi unit kerjanya masing-masing.

Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan titik tolak bagi birokrasi untuk berani keluar dari pakemnya. Inovasi, dengan demikian, menjadi sangat penting. Sudah saatnya standar pelayanan birokrasi mengakomodasi input dan ekspektasi sektor privat.