Mahathir, Identitas, dan Masa Depan ASEAN
Photo source: http://www.katariau.com/foto_berita/16Mahathir%20Muhammad.jpg
Dedi Dinarto, Asisten Riset ASEAN Studies Center UGM
Beberapa menit yang lalu, saya menutup lembar terakhir dari sebuah otobiografi mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Bacaan tersebut sengaja saya baca untuk melihat bagaimana beliau mengungkap identitas sebagai fondasi utama bangsa Asia di tengah-tengah modernitas sebagai implikasi dari globalisasi. Dengan bahasa yang lugas dan ‘terus-terang’, beliau menyampaikan secara jelas apa yang hendak ia bicarakan soal wacana ‘Pan-Asianisme’. Namun, saya menemukan hal lain yang membuat saya kembali berpikir.
Keterlibatan aktif dalam kegiatan politik, yakni sebagai pendiri Persatuan Melayu Kedah (sekarang UMNO) dan agen ‘bawah tanah’ kemerdekaan Malaysia dari status protektorat di bawah Inggris berhasil membentuk seorang Mahathir yang cakap dalam mengambil keputusan dari tiap permasalahan yang ada. Ia menunjukkannya melalui strategi mengelola masyarakat multi-ras di Malaysia, yang notabene sempat mengalami masa kritis di tahun 1969. Kala itu, ia memprotes kebijakan PM Tunku Abdul Rahman di tengah melakoni peran publiknya sebagai anggota parlemen dan dokter di saat yang bersamaan. Menurutnya, UMNO telah gagal mengatur kesenjangan yang ada di antara warga Malaysia etnis Tionghoa dan Melayu.
Protes ini tak sekedar protes. Ketika ia diberi kesempatan untuk menjabat sebagai PM, ia segera menuangkan ide taktisnya dalam kebijakan ekonomi kontroversial (karena mengedepankan kepentingan etnis Melayu), New Economic Policy (NEP). Kendati demikian, kebijakan ini berhasil mengurangi kesenjangan pendapatan dan kontrol kapital antar etnis. Menurutnya, kesenjangan adalah persoalan yang sering kali tidak dihiraukan oleh pemimpin bangsa sehingga berimplikasi pada instabilitas sosial dan politik, seperti halnya yang terjadi di Indonesia.
Di tengah-tengah itu, sebaik-baiknya ilmu adalah untuk direfleksikan atas persoalan yang ada di sekitar kita. ASEAN sebagai sebuah rezim kawasan yang telah mengatur interaksi antar negara-negara di Asia Tenggara perlu ditelaah melalui cara pandang Mahathir. Ibarat etnis, negara-negara di Asia Tenggara memiliki cara pandang sendiri dengan latar belakang identitas yang berbeda. Kesenjangan di antara negara-negara dapat menjadi persoalan serius di masa depan. Membayangkan integrasi ASEAN sama halnya dengan membayangkan keharmonisan masyarakat multi-ras di negara manapun. Namun, perlu disadari bahwa logika bernegara berbeda dengan logika bermasyarakat.
Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa integrasi ASEAN harus dipandang secara pesimis. Dalam konteks Malaysia, Mahathir berperan untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan yang ada antar etnis. Di sisi yang lain, tidak ada figur utama yang dapat menghilangkan ketidaksepahaman atas konsekuensi perbedaan identitas dan kepentingan negara anggota ASEAN. Artinya, ASEAN hanya akan digiring oleh negara-negara anggotanya yang berinteraksi satu sama lain di bawah Piagam ASEAN, dan agenda Komunitas ASEAN, yang notabene menuntut adanya ‘kesadaran’ mematuhi mekanisme regulasi tersebut.
Maka dari itu, ASEAN sungguh digerakkan oleh negara anggotanya sehingga perlu adanya suatu upaya untuk menutup ‘kesenjangan’ dalam sektor ekonomi dan sosial sehingga tercipta sebuah kesepahaman atas masa depan ASEAN.