ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) dan Dialog Antar-Agama: Sebuah Tinjuauan Kritis
Dedi Dinarto, Asisten Riset Pusat Kajian ASEAN UGM
Berakhirnya tahun 2015 menjadi titik awal bagi integrasi masyarakat ASEAN yang menekankan aspek ‘people-centered’ sebagai fokus baru di kawasan. Beberapa dokumen ASEAN telah memasukkan istilah ini dengan tujuan agar program-program yang diimplementasikan tidak hanya berorientasi pada pembangunan negara, akan tetapi juga melibatkan masyarakat dalam proses integrasi. Merespon hal tersebut, ASCC dibentuk guna memberi celah partisipasi dan manfaat bagi masyarakat, berkelanjutan, kuat, dan dinamis. Namun, hingga saat ini, terminologi ‘komunitas’ ini tidak diletakkan senyatanya untuk mengatasi permasalahan sosial. Di sisi yang lain, ASCC hanya merupakan pelengkap untuk meningkatkan sentimen dan mobilisasi tenaga kerja di kawasan. Maka dari itu, perlu ada kajian untuk melihat sejauh mana ASCC benar-benar merangkul konteks ‘komunitas’.
Berhubungan dengan isu sosial, artikel ini akan mengangkat pentingnya dialog antar-agama dalam menciptakan masyarakat ASEAN yang harmonis dan rukun. Kondisi nyata menggambarkan bahwa konflik antar-agama kerap terjadi di Asia Tenggara. Misalnya, konflik antara umat Islam dan Kristen di Indonesia, umat Buddha dan Islam Patani di Thailand, umat Buddha dan Islam Rohingya di Myanmar, umat Islam Mindanao dan Kristen Katolik di Filipina, dan sebagainya. Untuk itu, keberadaan ini tidak seharusnya dipandang hanya sebagai keberagaman semata, akan tetapi perlu untuk disusun dalam konteks pluralistik yang mengakomodasi eksistensi dari seluruh agama.
Kendati demikian, pembahasan ini perlu untuk digiring pada beberapa pertanyaan lanjutan, yakni sejauh mana ASCC telah menjamin toleransi antar-agama, dan bagaimana seharusnya masyarakat berperan dalam memperkuat agenda dialog antar-agama?
Membaca Relevansi ASCC
Pembentukan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) diinisiasi sebagai upaya untuk menciptakan suasana bagi setiap orang, agar merasa sebagai bagian dari masyarakat ASEAN, dan mencari jalan keluar atas permasalahan sosial yang cukup kompleks di kawasan. Turunan dari dua tujuan ini telah dijabarkan di dalam Cetak Biru ASCC 2025 secara detail guna menciptakan masyarakat ASEAN yang inklusif, berkelanjutan, kuat, dan dinamis. ASCC juga secara spesifik menaruh perhatian pada isu toleransi, pemahaman, dan penghormatan sebagai bentuk penyesuaian terhadap multikulturalisme dalam salah satu tolak ukur strategis, yakni ‘Menuju ASEAN yang Adaptif dan Terbuka’. Dengan kata lain, ASCC berupaya untuk menjamin adanya keharmonisan dalam masyarakat ASEAN.
Di dalam Cetak Biru ASCC 2025, salah satu isu yang dianggap penting guna menciptakan masyarakat ASEAN yang terbuka dan adaptif adalah isu antaragama. Isu ini dianggap penting guna mendorong adanya budaya toleransi, pemahaman, penghormatan terhadap agama, dan dialog antar-agama. Menurut David Burrell, dialog antar-agama adalah sebuah upaya menciptakan jalan baru untuk memahami diri sendiri dan orang lain sehingga dapat menciptakan jalur persahabatan dan apresiasi antar umat beragama (Burrell, 2004:196). Sebagai salah satu ikhtiar untuk saling bertukar pengetahuan dan pemahaman antara agama yang satu dengan yang lainnya, dialog antar-agama kerap diselenggarakan dengan melibatkan berbagai tokoh agama guna menghindari misinterpretasi. Dengan kata lain, upaya pluralistik ini diadakan untuk mereduksi konflik antar agama. Pada titik ini, ASCC telah menjamin adanya peluang untuk memperkuat isu antar agama sebagai salah satu penyokong terciptanya keharmonisan di ASEAN.
Dalam segi implementasi, poin mengenai isu antaragama telah diupayakan jauh sebelum dipublikasinya Cetak Biru ASCC oleh Indonesia. Wujud komitmen Indonesia untuk melaksanakan poin dalam ASCC tersebut adalah dengan menjadi tuan rumah pertama penyelenggara Bali Interfaith Dialogue di bawah Asia-Europe Meeting (ASEM). Tidak hanya itu, pasca penyelenggaraan, Indonesia menetapkan inisiatif untuk membangun International Center for Religious and Cultural Cooperation (The Jogja Center). Di sisi yang lain, Filipina juga menunjukkan komitmennya dengan menjadi tuan rumah ketujuh untuk forum internasional yang sama. Kelebihan dari penyelenggaraan di Manila adalah adanya rancangan pra-acara yang melibatkan tokoh agama berusia muda untuk berdiskusi dan berdialog. Melalui dua penyelenggaraan ini, Manila lebih menunjukkan adanya keterlibatan masyarakat secara komprehensif dalam isu dialog antar-agama, sedangkan Indonesia hanya diwakili oleh representasi negara.
Namun, dalam konteks ini, persoalan isu antaragama masih berada dalam penanganan pemerintah. Pengadaan fora dialog antar-agama cenderung berkesan eksklusif dan tidak melibatkan kelompok-kelompok lain yang tergolong ‘radikal’. Padahal, di sisi yang lain, isu sosial semacam ini juga menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai komunitas ASEAN. Masyarakat sebagai elemen terdekat yang melingkupi hubungan antar-agama dapat dimanfaatkan sebagai jalur untuk tidak hanya sekadar membangun, namun juga memperkuat agenda dialog antar-agama. Di tingkat yang berbeda, hal ini juga dapat mendorong pemaknaan terhadap terminologi ‘komunitas’ dalam ASCC 2025.
Mematahkan Paradigma ‘Elite-Driven’
Dalam teori hegemoni kultural, Antonio Gramsci menjelaskan bahwa dalam sebuah struktur masyarakat, terdapat dua golongan yang dibagi sesuai tingkatannya, yakni elite dan massa. Gramsci membangun konsep masyarakat modern, dimana elit ditempatkan pada bagian atas sementara massa pada bagian bawah, yang sarat dengan dominasi kelas atas terhadap kelas bawah. Ia mengatakan hal itu sebagai hegemoni. Namun, menurutnya, tatanan semacam ini seharusnya dapat dilawan dengan melihat pada potensi massa sebagai intelektual organik. Dengan begitu, konfigurasi hubungan antara elit dan massa dapat diubah melalui dekonstruksi tatanan tersebut.
Demikian pula, dalam beragam diskursus, integrasi ASEAN cenderung dipandang sebagai sebuah proses penyatuan negara-negara yang berbasis pada intervensi elit. Dirunut dari visi dan misinya, rancangan integrasi ASEAN yang meletakkan kerjasama ekonomi sebagai tujuan utama harus diikuti oleh situasi politik yang stabil di tingkat nasional maupun regional. Dengan begitu, kontrol politik dan dominasi pemerintah adalah konsekuensi logis, dimana pemerintahan yang otoriter mulai berkuasa pasca Perang Dingin.
Namun, implementasi agenda Komunitas ASEAN 2015 di kawasan, dan relevansi mengenai dominasi pemerintah mulai dipertanyakan ketika krisis ekonomi melanda wilayah Asia Tenggara. Di saat yang sama, perluasan jaringan masyarakat dalam bentuk kerjasama antar lembaga swadaya masyarakat (LSM), aktivis, dan stakeholders lainnya mulai intensif dikerjakan oleh masyarakat. Beberapa LSM yang aktif dalam isu antar-agama, antara lain Asia Pacific Interfaith Network yang menaruh perhatian pada isu antar-agama di kawasan ASEAN, Asian Resource Foundation yang mendirikan kantor di wilayah Myanmar dan Thailand, dan International Center for Law and Religion Studies yang bekerja sama secara intensif dengan Human Rights Working Group (HRWG) dan Coalition of Indonesian NGOs for International Human Rights Advocacy di Asia Tenggara. Paling tidak, hal ini menunjukkan tumbuhnya kesadaran kelas di tingkat massa terhadap kegagalan pemerintah negara ASEAN dalam menangani persoalan antar-agama. Maka dari itu, momentum ini patut dilihat sebagai modal untuk menginisiasi dekonstruksi tatanan pemerintahan yang cenderung solid dan kaku.
Pentingnya Kebebasan Berpendapat
Dalam tataran linguistik, untuk membangun sebuah wacana yang berkaitan dengan isu-isu sosial, tidak terkecuali isu antar-agama, maka setiap individu atau kelompok perlu berdialog guna membaca ulang titik singgung di antara perbedaan yang ada. Upaya dialektis ini cenderung dikemas dalam bentuk diskusi guna mencapai inter-subjektivitas (kesepakatan antara subjek-subjek terhadap nilai tertentu). Namun, jika berbincang soal kebebasan berpendapat di ASEAN, maka sesungguhnya kebebasan berpendapat merupakan persoalan krusial untuk dibahas.
Untuk mendorong adanya dialog antar-agama yang intensif di wilayah Asia Tenggara adalah tantangan besar bagi masyarakat di negara-negara semidemokratis atau monarki, seperti Malaysia, Myanmar, Laos, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Kamboja, dan Vietnam. Kekuasaan mutlak yang dipegang oleh pemerintah cenderung membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga kesadaran intelektual yang muncul pun tidak dapat berkembang menjadi suatu political force yang memadai. Tanpa adanya political force, maka pewacanaan mengenai pentingnya dialog antar-agama guna mencegah terjadinya konflik di tingkat nasional akan sangat sulit diadvokasikan.
Namun, di sisi yang lain, sebagai salah satu negara yang telah menaruh perhatian besar pada isu antar-agama, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi promotor penguatan dialog antar-agama di tingkat regional. Diwakili oleh AM Fachir, sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, ia berpendapat bahwa dialog antar-agama perlu diintensifkan untuk menghindarkan munculnya berbagai konflik yang bersinggungan erat dengan agama. Tidak hanya itu, munculnya LSM yang bergerak di bidang antar-agama, seperti Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) menjadi bukti kuatnya komitmen untuk mencari solusi atas permasalahan isu agama di Indonesia. Meskipun demikian, hal ini tidak secara keseluruhan meniadakan konflik antar-agama di Indonesia.
Pada titik ini, perlu adanya kesadaran untuk memanfaatkan jaringan-jaringan antar-agama yang telah terbentuk sebagai titik awal. Keterlibatan dalam fora semacam ini dapat memberi kontribusi ide kepada masyarakat di negara semi-demokratis atau absolut mengenai kebebasan berpendapat. Dengan kata lain, masyarakat tidak lagi mengandalkan pemerintah untuk belajar memahami ide-ide mengenai kebebasan dan toleransi yang relevan dengan tujuan menciptakan keharmonisan di tingkat negara dan regional. Di saat yang bersamaan, LSM dan aktivis dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas jaringan kerjasama.
Kesimpulan
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ASCC telah memberikan fondasi bagi pengupayaan toleransi antar-agama di dalam Cetak Biru ASCC 2025. Namun, hal ini masih berada dalam kendali pemerintah, dimana tidak ada penjaminan secara mutlak atas solusi terhadap permasalahan antar-agama yang ada. Di sisi yang lain, masyarakat perlu untuk membangun kesadaran agar tidak terjebak dalam kondisi ‘elite-driven’ dengan cara membentuk dan atau memanfaatkan jaringan antaragama yang telah bekerja. Dengan begitu, penguatan masyarakat untuk mendorong upaya dialog antaragama di kawasan dapat tercapai.
(Artikel ini sudah dipublikasikan dalam Newsletter Interfidei Edisi Juli-Desember 2015.)
Photo source: http://2.bp.blogspot.com/–vqzKGGEXjs/TXrfiAe9y9I/AAAAAAAAATc/c2dL1UOxTEY/s1600/candle_Candle_light_4010.jpg