ASEAN dan Pemberantasan Korupsi

Feature - ASEAN Sec
 
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Asisten peneliti di ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada
 Artikel ini dimuat di Harian Kompas (Siang), 2 Mei 2014

 

Bisakah ASEAN mendorong pemberantasan korupsi? Seiring dengan semakin dekatnya Komunitas ASEAN, pertanyaan ini lambat laun mulai mengemuka. Apalagi, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang tahun ini akan digelar di bawah kepemimpinan Myanmar.

Data Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh Transparency International pada tahun 2013 menunjukkan bahwa lima negara anggota ASEAN berada di bawah peringkat 110 dari semua negara yang masuk dalam riset TI. Artinya, perlu upaya pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif dan multisektoral dari negara-negara ASEAN.

Selama ini, korupsi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat ‘lokal’. Akan tetapi, di tahun 2013, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh satu kasus korupsi baru: upaya suap di SKKK Migas oleh salah satu perusahaan multinasional yang, tidak tanggung-tanggung, melibatkan Wakil Menteri ESDM.

Kasus Suap di SKKK Migas memberikan sebuah insight baru: korupsi tidak melulu bersifat lokal. Kajian Patrick Glynn, Stephen J. Korbin, dan Moises Naim (1997) menyebutkan bahwa melumernya batas-batas negara memungkinkan siapapun untuk melakukan suap dan kongkalikong dengan pemegang otoritas publik di suatu negara, menjadikan korupsi sebagai sebuah isu global.

Fenomena ‘globalisasi korupsi’ tidak hanya tercermin dari suap SKKK Migas. Sejak lama, proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga menghadapi masalah pencucian uang. Dana hasil korupsi, saat ini, tidak hanya disirkulasi di dalam negeri, tetapi juga ‘dicuci’ dengan dibawa ke luar negeri –baik hanya plesiran atau disimpan di Bank negara lain.

Konsekuensinya, proses pemberantasan korupsi menjadi terhambat karena hambatan-hambatan eksternal –untuk mengungkap aliran dana korupsi, aparat harus berhadapan dengan regulasi di luar negeri yang sangat menghargai privasi.

Hal ini setidaknya punya dua implikasi: Pertama, korupsi bukan lagi sekadar persoalan dalam negeri, tetapi juga telah menjadi fenomena yang sifatnya global. Kedua, perlu kerangka kerjasama yang lebih kuat untuk memberantas korupsi di tingkat internasional atau regional.

Di tingkat internasional, sudah ada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang disahkan pada tahun 2003. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini pada tahun yang sama. Konvensi ini menjadi dokumen utama bagi pelaksanaan kerjasama internasional di isu anti-korupsi.

Konvensi ini punya kontribusi dalam membawa isu korupsi sebagai global concern, namun masih belum cukup kuat sebagai international policy framework yang utuh dalam memberantas jejaring korupsi di tingkat global.

UNCAC memang punya beberapa poin menarik, seperti Asset Recovery atau Technical Cooperation and Assistance yang memberi ruang bagi kerjasama-kerjasama teknis antar-negara. UNCAC juga memberikan beberapa norma, seperti efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas (Article 7) yang memberikan porsi besar pada masyarakat sipil untuk terlibat.

Akan tetapi, Konvensi ini belum punya ‘taji’ yang cukup tajam untuk, misalnya, mengantisipasi pencucian uang dan simpanan ke Bank-Bank yang ada di luar negeri. Alasannya sederhana: regulasi tentang perbankan di masing-masing negara berbeda dan masuk dalam yurisdiksi kedaulatan negara.

Hambatan ini juga terasa dengan adanya penekanan ‘protection of souvereignty’ yang menjadi prinsip dasar bagi UNCAC (Article 4). Meskipun tidak terhindarkan, karena norma kerjasama internasional yang sangat menekankan pada kedaulatan negara, hal ini kerap menimbulkan persoalan karena tidak jarang banyak negara yang memberikan perlindungan terhadap buron-buron korupsi di negara tersebut.

 

Payung ASEAN

Pertanyaannya, mampukah ASEAN, sebagai kerangka kerjasama regional di Asia Tenggara, menutupi kelemahan-kelemahan yang ada di UNCAC tersebut? Sebetulnya ASEAN sudah meng-address problem korupsi ini sebelum adanya UNCACN, melalui ASEAN Declaration on Transnational Crime yang ditandatangani di Cebu, Filipina (1997).

Dalam deklarasi tersebut, persoalan korupsi dan suap memang dianggap sebagai salah satu transnational crime. Akan tetapi, tindak lanjut untuk mengatasinya baru sebatas rekomendasi kepada Expert Group Meeting dan dorongan kepada masing-masing negara untuk memperkuat tata pemerintahan yang baik.

Hal ini membuat ASEAN Declaration on Transnational Crime tak lebih dari sekadar konsensus regional yang, lagi-lagi, membuat pelaksanaannya diserahkan pada masing-masing negara.

Perkembangan berikutnya, muncul Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC) pada tahun 2002 yang menjadi dasar kerjasama anggota-anggota parlemen untuk memberantas korupsi. Perkembangan ini cukup menarik, tetapi lagi-lagi sangat state-centric.

Konsekuensinya, adanya SEAPAC bahkan tidak berbanding lurus terhadap korupsi yang dilakukan oleh anggota-anggota parlemen, terutama Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karakter SEAPAC yang berbasis pada ‘kerjasama’ tanpa adanya kekuatan yang mampu mencegah korupsi secara struktural.

Sehingga kita bisa melihat problem paling mendasar dari kerjasama antikorupsi di tingkat ASEAN: tidak adanya basis kelembagaan yang cukup kuat untuk menjadi wadah kerjasama dalam memberantas korupsi secara serius.

Kerjasama untuk memberantas korupsi di ASEAN berada pada wilayah ASEAN Political Security Community (APSC). Pemberantasan korupsi telah masuk menjadi salah satu agenda di Blueprint APSC, namun sejauh ini belum ada policy framework yang mewadahinya. Hal ini bisa mengakibatkan kerjasama yang sudah ada sebelumnya menjadi ‘jalan di tempat’.

Sehingga, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan untuk membangun desain kerjasama yang lebih efektif di wilayah pemberantasan korupsi

Pertama, perlunya sebuah regional policy framework di ASEAN yang sifatnya lebih komprehensif untuk mengatur format kerjasama yang tepat dalam memberantas korupsi. Regional Policy Framework tersebut setidaknya mampu memberikan kerangka kerja dan pemberantasan korupsi yang mengikat untuk bisa dimplementasikan di masing-masing negara anggota ASEAN.

Kedua, ASEAN perlu membentuk semacam Commsision yang bekerja di wilayah pemberantasan korupsi. Komisi tersebut akan bekerja untuk menangani aktivitas-aktivitas korupsi yang bersifat transnasional dan mengembalikan pelaku serta kerugian yang diberikan pada masing-masing negara.

Pembentukan komisi ini dimungkinkan mengingat sifat dari korupsi yang global dan extraordinary. Apalagi, ASEAN juga sudah punya komisi sektoral yang mewadahi kerjasama di bidang HAM (AICHR) dan perlindungan perempuan (ACWC). Sehingga, pelembagaan kerjasama di wilayah pemberantasan korupsi juga masih dimungkinkan.

Dengan semakin dekatnya Komunitas ASEAN 2015, hal tersebut menjadi semakin mendesak. Setidaknya, format-format perundingan di ASEAN yang akan semakin kompleks ke depan harus memberikan kerangka kerjasama yang lebih baik dari sebelumnya. Mari dorong pemberantasan korupsi yang lebih progresif!