Ulasan: Meninjau Keuniversalan Gerakan Sosial di ASEAN

Feature - Talkshow News

Menurut Herbert Blumer (1969), gerakan sosial dapat dilihat sebagai kepentingan kolektif untuk membangun sebuah tatanan hidup yang baru. Di lain sisi, gerakan social berarti suatu kolektifitas yang mengadakan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi di dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu (Turner, Killan, 1972). Pada dasarnya, gerakan sosial adalah cara alternatif untuk menyuarakan persoalan-persoalan di level domestik, dengan tujuan dan maksud tertentu tergantung pada pencetusnya. Persoalan sosial di masyarakat kadang kala dikesampingkan oleh elit. Dengan begitu, gerakan sosial bangkit dari level bawah untuk melakukan dekonstruksi pada struktur elit-massa, dan keluar sebagai solusi terhadap permasalahan sosial yang ada.

Perbincangan mengenai gerakan sosial kerap terhubung dengan cita-cita para Negara anggota ASEAN yang dalam waktu yang singkat ini akan mengimplementasikan Komunitas ASEAN 2015 sebagai babak baru kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Implikasi dari integrasi regional ini paling tidak akan memunculkan permasalahan-permasalahan sosial baru, seperti kesenjangan sosial, perbedaan identitas, dan penegakan hak asasi manusia. Berbicara melalui pendekatan yang berbeda, ASEAN sering kali dilihat sebagai rezim berbasis elit dan hanya merujuk pada nilai-nilai universal sebagai pendorong kebijakan. Padahal, cita-cita dari negara ASEAN adalah sebuah proses regionalisme yang tidak mengesampingkan masyarakat sebagai elemen utama dalam proses integrasi. Merespon permasalahan semacam ini, banyak sekali gerakan sosial yang bermunculan untuk melancarkan protes dan melawan elit dari segi perumusan dan implementasi kebijakan domestik—meskipun dengan cara pandang dan nilai yang berbeda-beda.

Berangkat dari permasalahan tersebut, ASEAN Studies Center, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Project Child Indonesia dan Social Movement Institute berhasil menyelenggarakan sebuah talkshow bertajuk “Meninjau Keuniversalan Gerakan Sosial di ASEAN” pada tanggal 29 Oktober 2015 bertempat di Selasar Barat, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Empat narasumber yang membahas isu ini dengan sangat komprehensif dari berbagai sudut pandang, ialah AB. Widyanta, S. Sos., M.A. (dosen Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada), Eko Prasetyo, S.H. (Ketua Badan Pekerja Social Movement Institute), Ardhana Pragota (Perwakilan ASEAN Youth Forum), dan Surayah Ryha, S.Si., M.Sc. (Co-founder Project Child Indonesia).

Berbicara soal gerakan sosial di ASEAN, masing-masing dari pembicara memberikan pandangan yang spesifik. Eko Prasetyo berpendapat bahwa ASEAN cenderung disambut dengan kebahagiaan dan kesenangan. Padahal, kita masih memiliki permasalahan politik dan sosial yang pelik di negara-negara ASEAN. Pada tahun 1970-an, sebuah buku catatan bawah tanah yang ditulis oleh seorang aktivis Burma bercerita soal diktator di Burma yang mengisahkan bagaimana mahasiswa harus berurusan dengan diktator, dan membangun gerakan berorientasi ideologi kiri. Di Malaysia dan Singapura, tidak ada kebebasan untuk berpolitik. SMI sering melakukan kunjungan ke Malaysia untuk mengajarkan mahasiswa Malaysia bagaimana berdemonstrasi yang benar – secara diam-diam. Pada titik ini, perlu untuk membangun jaringan gerakan sosial melalui kunjungan ke negara-negara ASEAN.

Kemudian, sambutan kebahagiaan atas terbentuknya ASEAN kerap dekat dengan komersialisasi. Hal ini yang digarisbawahi oleh Eko bahwa komersialisasi dapat mengonsumsi ruang publik. Ruang interaksi untuk menebar nilai-nilai kemanusiaan digerogoti secara perlahan oleh korporasi, konsumerisme, individualisme, dan kapitalisme. Namun, di satu sisi, mari sambut ASEAN dengan memanfaatkan peluang di mana ruang publik dapat diperluas. Mahasiswa harus bisa menjadi jembatan yang memperkuat interaksi masyarakat di level bawah. ASEAN adalah ruang publik yang harus dioptimalkan.

Dengan suara lantang, AB Widyanta cenderung meletakkan pandangan skeptis terhadap ASEAN. Ia bertanya, “Apakah kita benar-benar ASEAN?”. Hal ini terkait dengan kecurigaannya bahwa ASEAN adalah naming dari antropologi kolonial. Kondisi ini, menurut dirinya, harus dibenahi agar kapitalisme yang menjadi arus besar dalam pembentukan ASEAN tidak merambat hingga aspek politik. Secara sosiologis, ia berusaha membangun pandangan bahwa ASEAN lagi-lagi tidak boleh diterima begitu saja sebagai kemenangan atau kebahagiaan di Asia Tenggara. Permasalahan yang pelik justru datang dari kebahagiaan tersebut.

Fakta menunjukkan bahwa gerakan sosial yang ada di negara-negara ASEAN cenderung partikular dan harus ditelisik noddle point-nya. Hal ini menjadi agenda besar bagi gerakan-gerakan sosial untuk menjembatani diri satu sama lain. Sederhananya, menggabungkan yang partikular ke dalam seruan bersama. Fragmentasi adalah hal yang harus segera dicari jalan keluarnya. Memang, belum terdapat contoh yang dapat menggambarkan pemikiran abstrak ini. Menurutnya, tahapan universalisme gerakan sosial di ASEAN berada dalam on-going process. Semua akan sangat tergantung pada agen-agen gerakan sosial.

Ardhana Pragota, datang dengan segi keilmuan yang popular, melihat kaum muda sebagai agen yang bekerja untuk mengejar agenda-agenda tersebut. Pada intinya, kaum muda harus mampu mentransformasi ASEAN agar sesuai dengan masa depan mereka berdasarkan konteks sosio-historis, ekonomi, politik, dan budaya. Menurutnya, ilusi Masyarakat Ekonomi ASEAN telah menginfiltrasi pemikiran anak muda bahwasanya kehidupan yang tepat adalah individualis, kompetitif, dan apatis terhadap lingkungan sosial.

Berada dalam wadah ASEAN Youth Forum, Pragota melihat bahwa konektivitas kaum muda di level ASEAN masih rendah. Pertama, tidak seluruh partisipan dalam ASEAN Youth Forum adalah perwakilan yang aktif untuk mengejar kepentingan negara mereka. Bahkan, untuk isu Mary Jane, perwakilan Filipina tidak berbuat apa-apa alih-alih perwakilan Indonesia, ia klaim, berhasil menuntaskan kasus tersebut.

Berbeda dari ketiga pembicara di atas, Surayah Ryha melihat bahwa gerakan sosial di ASEAN dapat dipersatukan dengan memanfaatkan teknologi di era globalisasi. Terkadang, pola individualisme di akun pengguna media sosial dapat kita manfaatkan untuk kepentingan bersama. Contoh, ketika isu anak-anak cenderung dikesampingkan, Project Child Indonesia memanfaatkan media sosial untuk membangun tren dan menekankan bahwa penghidupan anak adalah elemen yang cukup penting untuk diperhatikan. Pada titik ini, individualisme yang merajalela dapat kita satukan dengan merujuk pada sebuah tren. Ini yang dinamakan sebagai era globalisasi – bagaimana sebuah isu dapat diperluas dengan cara yang mudah dan instan. Ryha berpikir bahwa cara ini dapat dimanfaatkan untuk memperluas gerakan-gerakan sosial, tentunya yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan, dan non-radikal. Ia juga percaya bahwa kapitalisme yang dibangun dalam kerangka ASEAN dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dengan melibatkan komunitas lokal. Pada intinya, tidak ada yang salah dengan kapitalisme – kecuali ia disalurkan kepada orang yang salah.

Melalui berbagai diskusi yang komprehensif ini, ASEAN Studies Center berkesimpulan bahwa keuniversalan gerakan sosial di ASEAN adalah sebuah proses yang hanya akan tercapai jika dikerjakan oleh agen-agen sosial. Meskipun banyak sekali gap dan partikularitas di antara gerakan-gerakan sosial yang ada, perlu usaha untuk saling menjembatani, mencari titik persamaan (merujuk pada situasi politik, ekonomi, dll), dan meminimalisir noddle point-nya.